Home

Pharmacist with PatientRasanya sudah lama sekali tidak menulis di blog ini sejak tidak lagi tenggelam dalam dunia kepenulisan, meski bukan exuse untuk tidak menghasilkan suatu karya.  Mungkin karena kesibukan, ah itu juga bukan exuse yang tepat. Namun bersyukurlah bagi orang-orang yang sibuk dan disibukan dengan hal-hal yang bermanfaat. Bukannya mengkritik orang yang tidak sibuk yah tapi ketidaksibukan membawa kita pada hal-hal yang tidak berguna bukan. Seperti biasa, saya hanya akan mencoba berbagi sebuah pengalaman.

Suatu hari, pada sebuah baksos pengobatan gratis. Bersiap beberapa tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter dan  apoteker. Hmm kebetulan ternyata sang apoteker  memiliki sebuah idealism keprofesian  yaitu melayani masyarakat yang berobat  tidak hanya terbatas pada pemberian obat dan memberi tahu cara pakainya namun juga memberikan pelayanan Konseling Informasi dan Edukasi (KIE) yang katanya menjadi factor pembeda pekerjaan seorang  apoteker dengan asisten apoteker atau juru racik. Apoteker tersebut mengerti benar bahwa peran apoteker salah satunya yaitu mengkomposisikan antara pengetahuan  farmakoklinis dan kemampuan berkomunikasi, menyampaikan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat dari bermacam-macam pengetahuannya tentang obat. Singkatnya, setelah panjang lebar berbusa memberikan informasi tentang obat dan edukasi perbaikan gayahidup, pasien berterimakasih dan memanggil apoteker dengan panggilan “Dok”. Kejadian ini mungkin sering dialami oleh apoteker-apoteker yang berupaya untuk memperkenalkan profesinya kepada masyarakat dengan menunjukan perannya dalam edukasi obat-obatan, sehingga masyarakat tidak “buta” terhadap profesinya.

Yah miris memang jika dikaitkan dengan profesi kita yang seolah berada di bawah dokter, padahal dokter dan apoteker mempunyai fungsi dan perannya masing-masing, profesi yang saling terkait dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Apoteker dan dokter sama-sama terikat pada sumpah suci kepada Tuhan yang Maha Esa untuk senantiasa menomor satukan kepentingan pasien, seolah tidak cukup dengan sumpah, kedua profesi ini juga memiliki kode etika khusus yang mengatur praktek profesi ini dengan kewenangan yang berbeda dan tentu saja peranan yang berbeda. Seorang dokter  memiliki wewenang mendiagnosa dan menuliskan resep yang apoteker tidak dapat melakukannya, namun seorang apoteker memiliki kewenangan lebih dalam inventalisir obat-obatan terutama obat golongan keras, apalagi berbicara tentang narkotik dan psikotropik, hanya apotekerlah yang diberi amanat oleh undang-undang dalam pengelolaannya, bukan dokter kecuali dokter di daerah terpencil atau dalam keadaan darurat.

Kemudian satu pengalaman nyata lagi, seorang tetangga yang anaknya baru saja lulus dari sekolah menengah atas  (SMA) tengah kebingungan mencari perguruan tinggi untuk anaknya, hingga kemudian ia menawarkan kepada anaknya untuk masuk ke jurusan farmasi, namun apa tanggapan anak tersebut?. anak itu menolak pendapat orangtuanya, dengan alasan profesi apoteker tidak keren, hanya meracik obat saja di apotek, sekolahnya susah-susah hanya untuk menjaga apotek yang seorang lulusan setingkat SMA juga bisa melakukannya.

Secara tidak langsung pendapat anak ini mungkin mewakili pendapat sekian milyar masyarakat awam di Indonesia yang secara tidak langsung menyindir bahkan merendahkan profesi apoteker. Jangan salahkan mereka karena ketidak tahuan mereka tetapi salahkanlah diri kita sendiri, farmasis yang selama ini tidak mau tampil sebagai profesi yang “keren” di mata masyarakat. Hanya sebagai perbandingan saja, di Negara-negara eropa dan amerika, profesi apoteker merupakan profesi yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dari masyarakat, bahkan profesi apoteker dapat dijadikan jaminan jika meminjam uang di bank atau lembagai peminjaman.

Jika diperbolehkan berargumen melihat posisi seorang apoteker di Indonesia tampaknya belum sampai pada era pharmaceutical care apalagi era Era Medication Therapy Managemen (MTM) yang katanya sejak tahun 90an  sudah diagung-agungkan. Pada kenyataannya masyarakat tidak “mengenal” profesi kita,  mereka hanya tahu bahwa yang mengerti dan care terhadap kesehatan mereka hanyalah dokter. Mereka hanya tahu apoteker yang meracik obat di apotek. Yah, itulah kenyataan yang harus kita terima tetapi tidak kemudian menjadi alasan untuk tidak melakukan langkah apa-apa.

Teringat pengalaman studi banding apoteker di singapure, disana seorang apoteker sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya dikenal sebagai seorang ahli pembuat obat  saja akan tetapi juga dihargai sebagai profesi yang ikut perduli secara langsung terhadap kesehatan masyarakat, bukan hanya berada di belakang layar namun juga ikut tampil sebagai seseorang yang mengerti seluk beluk farmakoklinik. Apoteker dan dokter bekerja sama dalam menangani masalah kesehatan masyarakat, saling crosscek  dalam terapi pasien sehingga dapat meminimalisir medication error.  Medication error yang berakibat pada kegagaln terapi bahkan justru meningkatkan risk dan prognosis penyakit yang  sebagian besar disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien terhadap obat. Masalah regimen dosis, efek samping, frekuensi pemberian, interaksi obat dan lain sebagainya yang seharusnya dapat ditangani dengan adanya seorang apoteker. Bahkan di Negara-negara maju seorang dokter hanya menuliskan diagnose dari penyakit pasien, kemudian ia menyerahkan kepada apoteker untuk pemilihan obat yang tepat.  Pertanyaannya kapan kah di Indonesia hal itu dapat terjadi? Jawabannya ada di tangan kita sendiri, Apoteker Indonesia.

SRA

Tinggalkan komentar